Cerpen
DESAKU
KOTAKU ISTANAKU
Suatu ketika teringat kala itu ku terlahir di
sebuah desa lereng merbabu, sebuah anugerah yang takkan mungkin kulupakan sampai
dengan detik ini, kenangan demi kenangan kucoba mengingat masa laluku. Masa
yang penuh kasih, suasana senang, gembira, menghiasi hati, disanalah kasih sayangku
selalu berlabuh. Enam tahun sudah waktu kini berlalu, begitu cepat
kumeningalkan segalanya demi mengadu nasib di hamparan kota Metropolitan, sawah
berubah mejadi kawasan industry, cangkul pun berubah menjadi secorak pulpen dan
media pintar, teringat dikala pagi menjelang kehidupan desa mulai tampak begitu
sunyi dan mengalunkan suasana ketenangan, damai pun terlihat saat itu. Di bawah
gubuk bambu sebagai istana dan tempat tinggalku, walau begitu sederhana terasa nyaman
dan takkan jadikan suatu kendala, dinding berlobang sebagai AC kala matahari
membakar kulit hitam ku. Terbuat dari anyaman bambu yang menghias dalam sudut
rumah ku kala itu, aku takan pernah menyesal telah terlahir dalam dunia kesederhanaan,
kesedehanaan yang membawa ku mengerti arti jalan hidup yang sesungguhnya. Sudut
pandang arti sebuah desa terkadang
manusia salah mengartikan sebuah desa yang kumuh, jorok dan membosankan
itu kata mereka! tapi tidak seperti itu juga, desa lebih nyaman dan lebih ramah
lingkungan selain bisa irit dalam hal belanja, kita juga bisa mengetahui sebuah
pengalaman tentang kesederhanaan, kebersamaan, dan kerukunan. Dalam masyarakat
desa tersebut, jurang dan bukit terjal sudah biasa. karena memang desa ku
terletak di sebuah lereng gunung Merbabu, pemandangan yang menarik ditemani
deretan iring iringan sayur mayur yang tumbuh di halaman sekitar, menjadikan suasana terasa hidup di alam bebas. Masa kecil
ku memang termasuk tak seberuntung masa kecil teman-teman yang lain, karena di masa itu aku terlahir dan tumbuh dikalangan
orang yang tidak punya/boleh dikatakana orang yang tidak mampu,,orang tua ku
sebagai petani itu pun kami tidak mempunyai lahan sendiri ( maro) arti kata
dalam bahasa Jawa atau bisa diterjemahkan menggarap tanah milik orang, kala
panen nanti bisa bagi hasil. Itu pun hanya cukup untuk buat makan sehari-hari
saja tak ada lebih, malah sering kekurangan. Begitu susahnya keluarga ku kala
itu, tapi kami sikapi semua itu dengan rasa syukur karena kami masih bisa makan
dan menikmati kebersamaan yang begitu sempurna. Terkadang manusia mengeluh
karena nasib yang mereka dera akan tetapi nasib itu takan berarti apa-apa
jikalau kita jalani dengan suka cita dan berusaha terlepas dari belenggu. Nasib
takan kekal jikalau kita mau berusaha merubahnya dengan tekun dan sunguh-sunguh,
begitu prinsip saya waktu itu. Jikalau pagi tiba matahari mulai tampak dari
ufuk timur keramaian kokok ayam pun mulai terdengar dari beberapa penjuru di
desa ku, seketika itu pun aktifitas akan dimulai. Ayah ku bergegas ambil
cangkul dan siap menggempur beberapa gundukan tanah untuk menjadikan sebuah
lahan agar bisa dijadikan tempat untuk kita
menanam, begitu kagum dan bangga ku mempunyai ayah seperti beliau yang
begitu kuat tahan banting tulang demi masa depanku dan demi kecukupan keluarga.
Terik mentari seolah membakar dan menguras semua tenaga tetapi ayah ku tak
mempedulikan hal itu, beliau begitu demi orang yang dicintai dan cita-citanya, aku
kagum dan bangga jikalau melihat kegigihan nya jika kelak aku besar nanti
pengen seperti bliau yang begitu semangat. tepat pukul 09-30 ibu datang dan membawakan minuman dan
beberapa makanan walaupun hanya ubi rebus yang dibawa, tetapi sangatlah
membantu dan bermanfaat bagi ayah ku. Sembari keringat terkucur-kucur keluar
dari badan ayah dengan lahapnya kami pun menyantap ubi tersebut, sepoy angin
dan pohon seakan berlambai-lambai menjadikan pemandangan yang menarik pada
siang hari itu, Ayah ku pernah bercerita tentang masa kecil nya dulu dan itu
merupakan sebagai cerita faforit ku kala itu, terdengar suara yang sangat
lantang dan kelihatan gigi yang hilang separuh di sapu rata oleh usia dan
ayahku bercerita, begitu sedihnya ku mendengar alunan cerita yang membawa dan
menghanyutkan ku dalam rasa iba karena memang ayah ku hanyalah seorang
sebatangkara bapak dan ibunya telah meningalkannya ketika ayah berusia 7 Th dan
untuk menumpang hidup ayah di pungut oleh mbok rumini dengan sedih nya ayah ku
menuturkan, aku merupakan anak bungsu dari dua bersaudara, kakak ku perempuan
dan aku merupakan salah satu anak laki laki dari mereka, aku putus sekolah
karena memang faktor ekonomi dari keluarga yang tidak bisa meneruskan sekolah
ku kala itu, aku hanya bisa menikmati sekolah Rakyat selain lokasi sekolah yang
begitu jauh pada biaya pun menjadi kendala utama, tapi aku takkan memasalahkan
hal itu karean aku memahami betul kehidupan di keluarga waktu itu, begitu besar
cita-citaku yang mengantung dan takkan mungkin terlaksana, tetapi selalu ku
panjatkan syukur walau kekangan ilmu yang begitu sempit kesempatan pasti kan
datang menjemput ku kelak, suara hati ku selalu berharap. Teringat kembali bila
pagi menjelang keluarga kumpul dan bercengkrama didepan tungku sambil
berdiskusi, canda tawa, keceriaan bersama membuat ku teringat dengan kebersamaan
dulu sembari dibuatkan ibu secangkir teh hangat, bisa membuat kala pagi itu
menjadi hangat, karena memang di desaku sangatlah dingin, bila malam atau pagi
menjelang kabut pun masih setia menjaga rumah kecil itu, mentari pun belum nampak
batang hidungnya,
kira-kira jam 08.00 baru bisa menikmati kehangatan cahaya Alam
yang diberikan sang Illahi bagi kehidupan didesa ku. Mentari terbit lebih lambat karena memang di
desaku kala itu terletak di lereng gunung. Serpihan demi serpihan kini ku coba
mengingat, dan merasakan kembali masalalu yang begitu berarti dalam hidup ku
masalalu yang membuat mata ini menangis, masalalu yang membuat kebanggan, dan
masa-masa pertumbuhan waktu kecil dulu , ‘’Seburuk apapun Desaku , aku tetap
bagian dari situ dan disanalah awal mula kehidupanku” Seratus
rupiah pesangon dari ibu untuk bekal sekolah, semenjak kecil aku memang
tergolong Anak yang tidak suka jajan setiap uang saku dari ibu pasti ku simpan
bukan buat jajan di sekolah melainkan buat beli gundu atau karet sesudah pulang
sekolah, itu menjadi kebiasaan ku
sehari-hari, setiap pulang sekolah aku tidak langsung pulang melainkan lgsung
memainkan gundu ku yang sudah kubeli tadi permainan nya sangat unik dan menarik
cari ubin yang datar atau tanah yang datar
lalu di garis lingkar selebar jam dinding nanti di situ akan di putuskan
setiap peserta yang mengikuti permainan itu harus meletakan klerengnya tiga
biji atau mau di bikin berapaan tergantung kesepakatan bersama waktu itu..kami
pun mulai baris dan permainan akan segera di mulai setiap peserta baris dan
melemparkan master klereng bagi yang terdekat dengan lingkaran maka dialah yang memulai duluan master di
slentik sekeras mungkin biar bisa menghancurkan kelereng yang ada dalam
lingkaran tadi klau ada beberapa klereng yang keluar lingkaran nah maka akan
menjadi miliknya tapi kalau justru kelereng master tadi nyelip dan tidak bisa
keluar dari lingkaran atau malah parkir di dalam lingkaran maka di angap gagal
dan tidak boleh mengikuti permainan lagi setelah sore pulang pasti dapat
hukuman dari ibu sebuah cabe merah telah menantang di depan ku dan sering kali
ibu ku menghukum tidak dengan kekerasan melainkan dengan cabe di leletin di
bibir atau mulutku itu sangat panas sekali jika di rasakan, membuat ketawa jika
peristiwa itu teringat kembali. suat hari aku bertanya pada ibuku buk... ?
Tanya ku kenapa ibu setiap kali jika ku salah hukuman nya knapa harus pake cabe
kan panas ? kata ku, lalu ibu jawap sambil senyum ketawa, nak jabe tidak akan
melukai jikalau hanya terkena lidah ataupun mulut. sakitnya hanya beberapa
saat, tetapi jikalau ibu menghukum dengan pukul, atau kekerasan lainnya maka
itu akan membekas dan merugikan ibu sendiri jawap ibu sambil mengelus kepalaku,
tapi jujur semenjak aku kecil belum pernah sedikit pun ibu ku melukai atau memukul ku, karena
senjata yang di gemari ibu adalah cabe...sejarah asal usul memang menarik jika
di kenang ataupun di ceritakan kembali banyak cerita lucu di balik kepolosan
menjadikan ku mengerti arti hidup dalam kesederhanaan,kebersamaan, dan
menjadikan motifasi tentang menghargai antar sesama.
Cerpen 1
Cerpen 1
Penulis : Antonius Giarno
e-maile
: Gerejagantang@yahoo.co.id
Phone : 087877333842/ 087771777056
.
0 komentar:
Posting Komentar